Membuncah Merebak Tak Terbendung
Apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup?
Pertanyaan itulah yang selalu terlintas di dalam kepala setiap malam. Tak
pernah terbayangkan berada di sebuah ruangan tanpa bisa keluar selama
berminggu-minggu. Semenjak wabah baru merebak di muka bumi, seluruh negara berlomba
untuk menekan angka penularan. Tentu saja negara maju dapat membuat perubahan
dan menekan laju penyebaran. Namun negara ketiga? Bagaikan anak ayam yang
kehilangan induknya, bingung kesana kemari tanpa tujuan yang jelas. Sedangkan
aku? Berusaha sebaik mungkin untuk menjaga diri dan orang tersayang disekitar.
Namun apa daya bila mayoritas yang lain tidak mempedulikan itu semua. Korban? hanyalah korban akan keburukan aturan yang dijalankan
oleh kelompok yang telah mengeruk materi dari rakyatnya. Kelompok yang tak
mengindahkan rakyat melainkan kepentingan kelompok itu sendiri. Ya, himbauan
itu telah terlambat. Sudah terlanjur untuk virus hinggap tak bercela. Dibalik itu kita bukanlah korban, Ibu Bumi lah korban dari buah kebaikannya yang disalah gunakan oleh kita, kutu baginya.
Ibu Bumi merasakan kelegaan walau hanya sejenak. Hiruk pikuk terasa tertekan sedemikian rupa. Jalanan mungkin tak selenggang biasanya, udara pun mulai mengindah walaupun hanya seukuran jentik nyamuk. Namun tetap, semoga Ibu Bumi dapat tersenyum walaupun sedikit sudut di bibir itu. Wabah, yang sudah berjalan setahun lebih mungkin jawaban akan kesedihan Ibu Bumi, akan geramnya semesta terhadap kutu yang telah diberi segala olehnya. Lihatlah kulit sang Ibu, lihatlah rambut sang Ibu, lihatlah permukaannya, terkikis oleh kalian dan diriku. Aku tahu kesalahan dan kerakusan itu. Maaf tidak dapat mengembalikannya, biarkanlah sunyi menyeruak, biarkanlah sang Ibu tersenyum terlebih dahulu. Semoga semesta mengamini doa para jiwa yang masih sayang terhadap Ibunya.
Ruangan ini menjadi
saksi kesunyian yang ku rasakan, kesepian yang kuindahkan, kerinduan yang
kunikmati. Terbalut sedih, terbalut tawa, terbalut wajah yang datar. Hati sunyi
itu sejenak redam sejenak bersinar. Redam saat sendiri, bersinar saat wajah indah
muncul diiringi senyuman dan tawa yang menghapus air mata. Terima kasih Ibu
Bumi, terima kasih Ibu yang melahirkan diri ini, terima kasih sesosok keindahan
yang telah diciptakan untuk menemani dan mengangkatku saat terjatuh.