Ketika Hari Telah Berakhir

"Tingg......"
Terdengar suara tiang listrik yang dipukul dengan batu. Rupanya waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Setidaknya itu yang disampaikan oleh seorang satuan keamanan kampung.
Aku tidak bisa tidur sejak dua hari yang lalu. Banyak hal yang melintas di pikiranku. Setelah mendengar suara "ting.." yang membuyarkan lamunanku, aku beranjak dari tempat tidur untuk memakai celana jeans dan jaket hitam di gantungan baju. Kubuka pintu kamar kontrakan dan memakai sneakers hitam putih belel yang sering dipakai musisi-musisi kesukaanku.Kubuka pintu rumah tinggal dan pagar. Terlihat langit gelap serta jalanan yang sepi, bahkan Satpam yang berpatroli dan memukul tiang listrik dengan batu tadi sudah menghilang kembali ke pos jaga.
Aku mulai berjalan keluar kamar kontrakan tanpa tujuan dan arah yang tentu. Hanya angin malam yang menemani langkahku. Terlihat beberapa penjual nasi goreng yang masih menjajakan dagangannya. Aku tidak lapar, bahkan perutku terasa sangat kenyang walau makanan yang kulahap hanya pagi hari kemarin. Saat melintasi sebuah mini market, terlihat seorang wanita yang sedang hamil sedang membeli beberapa cemilan dan minuman ringan ditemani dengan suaminya. "Ibu itu sangat cantik, pasti sedang ngidam.", gumamku sambil tersenyum. Entah mengapa setiap kali melihat ibu hamil, mereka akan terlihat semakin menarik bagiku. Bukan menarik dalam artian negatif, namun karena keanggunan serta kelembutannya semakin terpancar karena membawa seseorang yang akan lahir ke bumi ini. Andai saja aku menjadi suami dari wanita hamil tersebut, pasti sudah aku sayangi dan kabulkan semua permintaannya.
Melihat ibu hamil tersebut aku teringat akan ibuku. Beliau pasti juga pernah merasakan hal itu, merasakan perubahan menjadi lebih anggun dan lembut. Begitu pula saat melahirkan aku, pasti merasakan sebuah perjuangan hebat yang dasari ketulusan hati demi melahirkan aku ke bumi ini. Aku menjadi sedih mengingat hal-hal semacam itu. Teringat bahwa aku sering menyakiti perasaan ibu baik secara sengaja ataupun tidak. Aku pun tersadar, sudah beberapa bulan ini aku tidak pulang menuju rumah untuk menemuinya. Bahkan pesan singkat dan juga panggilan telepon kadang secara tidak sadar aku abaikan begitu saja. Berbeda dengan pesan singkat atau panggilan telepon dari kawan-kawan ku, pasti langsung aku balas dan terima dengan cepat.
Aku mencoba mengambil telepon genggam dari saku celana. Kubuka pesan singkat dari ibuku. Terlihat beberapa kalimat yang berisi kekhawatiran Ibu karena tidak ada balasan dariku. Mungkin ada puluhan kali ibu mengirim pesan singkat dalam beberapa hari ini. Dengan perasaan sedih aku mencoba membalas pesan Ibuku dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan meminta maaf serta menanyakan keadannya. Namun saat aku akan memencet tombol kirim, jemari tanganku terasa menembus telepon genggam yang kupegang. Kucoba beberapa kali namun hasilnya sama saja. Beberapa detik kemudian telepon genggam lepas dari tanganku, bukan karena aku menjatuhkannya, namun karena telepon tersebut menembus tanganku. Bahkan satu persatu pakaian serta semua yang menempel di badanku jatuh ke tanah menembus tubuh. Kini tinggal tubuhku yang telanjang tanpa sehelai benang di tengah jalan pada dini hari. Kuraih baju dan celanaku, namun setiap kali mencoba semakin tubuhku terasa transparan dan menembus semuanya. Aku bingung akan apa yang terjadi dengan tubuhku.
Terlihat dua orang pemuda yang melintas dari kejauhan, mereka berjalan beriringan dengan obrolan serta rokok di tangannya. Saat mereka akan melintas, secara spontan aku menutup bagian kemaluanku. Namun tiba-tiba salah satu pemuda tersebut berlari menuju arahku. Aku belum sempat menghindar karena kaget. Namun pemuda tersebut menembus badan tanpa menabrak diriku. Ternyata Ia berlari menuju selembar uang berjumlah seratus ribu yang terjatuh di jalan. "Widih, rejeki nomplok nih bro.", pemuda tersebut berbicara kepada temannya dengan gembira seraya memungut uang tersebut. Aku menghampiri mereka seraya bertanya, "Maaf mas bisa menolong saya? Saya ti..." namun belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, mereka kembali berjalan tanpa menghiraukan kehadiranku. Aku pun semakin bingung dan mulai berlari menuju rumah kontrakan. Tanpa membuka pintu aku menembus rumah dan masuk ke dalam kamar. Terlihat sebuah ruang berantakan yang sama seperti biasanya. Aku pun teringat kedua orang tuaku. Aku menuju halaman dan mencoba menaiki motor tuaku. Namun apa daya tubuh ini hanya menembusnya. Diantara kebingungan aku pun berlari menuju rumah, rumah yang berjarak tiga puluh kilometer dari kediaman sementaraku. Tanpa terasa aku sudah sampai hanya dalam hitungan menit, terasa sangat cepat seperti kilat.
Tak terasa mentari pagi menampakkan sinarnya saat aku sampai di rumah. Terdengar suara isak tangis Ibuku dari dalam rumah. Aku berlari menuju ruang tengah kamarku, terlihat benyak orang berpakaian hitam yang duduk bersila dan membacakan doa. Ibuku menangis dan mencium kening seseorang yang terbujur kaku dengan balutan kain putih dan beralaskan karpet berwarna hitam. Bapakku berada di samping Ibu seraya mencoba menenangkannya. Terlihat raut wajah yang amat sedih dari mereka. Aku mencoba memeluk mereka, namun tubuhku masih saja menembus semuanya.
"Nak, kau sudah tiada. Terimalah takdirmu, saatnya kau meninggalkan bumi ini.", seorang lelaki berambut panjang dengan baju berbalut jas rapi berbicara seraya tersenyum kepadaku.
"Apa maksudmu? A.. aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan tubuhku."
"Lihatlah pemuda yang terbujur kaku itu, lihat wajahnya.", lelaki tersebut menunjuk ke arah sosok yang ditangisi orang tuaku.
Ternyata itu adalah aku, pemuda yang sudah saatnya meninggalkan bumi. Saat aku akan kembali bertanya, lelaki itu tiba-tiba lenyap. Aku menangis, semakin keras melihat keganjilan ini. Menangis mengingat semua perbuatanku di muka bumi, terhadap semua manusia dan makhluk lainnya terutama Ibuku. Aku tertunduk dengan deraian air mata hingga tubuhku terasa mengantuk. Lelaki itu kembali terlihat, samar namun wajahnya terlihat tidak asing bagiku. Akupun terlelap karena tidak kuat menahan kantuk. Terlelap diantara padang rumput nan hijau, diiringi dengan nyanyian merdu alam semesta.
"When the day is done. Down to earth then sinks the sun. Along with everything that was lost and won. When the day is done....."
Aku terbangun oleh alunan musik dari musisi kesukaanku, Nick Drake, yang berjudul Day Is Done. Kulihat disekitar, ternyata aku terbangun di kamar kontrakanku. Pemutar musik di komputerku masih memainkan lagu dari album Five Leaves Left dari Nick Drake. Aku terbangun dengan tetesan air mata yang tersisa di pipi. Ternyata kejadian ganjil tersebut hanya mimpi. Aku tersadar ternyata lelaki yang berbicara denganku tidak lain adalah musisi kesayanganku, Nick Drake. Mungkin karena efek dari mendengarkan karyanya sembari tertidur.
Sesegera mungkin aku beranjak dari tempat tidurku, memakai celana jeans dan jaket serta senakers favoritku. Kubuka pintu kamar menuju halaman, menaiki motor tuaku dan membuka pagar. Kujalankan motor tua kesayanganku menuju tempat paling indah di muka bumi ini. Melaju menuju rumah dimana Ibuku sedang menunggu seseorang yang telah dibesarkannya dengan sepenuh hati. Dengan kasih dan sayangnya yang sempurna.

Tidak ada kata nanti untuk mengungkapkan kasih serta cinta kepada orang yang kita sayang. Ungkapkan segera sebelum semuanya terlambat.

Postingan populer dari blog ini

Sistem Transportasi dan Perkembangan Suatu Bangsa

Kata Ini Kata Itu